Agresi Militer Belanda II



Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Serangan ke Maguwo


Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Pemerintahan Darurat


Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Pengasingan Pimpinan Republik


Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Gerilya


Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

02.32 | Posted in | Read More »

Agresi Militer Belanda I



"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Dimulainya operasi militer

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Pembantaian Rawagede

Pada 9 Desember 1947, terjadi peristiwa Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.

Campur tangan PBB


Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

02.25 | Posted in | Read More »

Battle of Iwo Jima



Pertempuran Iwo Jima terjadi antara Amerika Serikat dan Jepang selama Februari dan Maret 1945, selama Perang Dunia Kedua. Sebagai akibat dari pertempuran itu, Amerika Serikat menguasai pulau Iwo Jima dan lapangan udara terletak di sana. Pertempuran terkenal dengan pengibaran bendera Amerika oleh Marinir AS selama pertempuran.

Pada hari-hari pembukaan 1945, Jepang menghadapi kemungkinan invasi oleh pasukan Sekutu. Serangan setiap hari dari bomber yang berada di Marianas menghantam Iwo Jima dalam operasi yang disebut Operasi Scavenger. Iwo Jima bertugas sebagai stasiun peringatan dini, yang akan mengirim laporan radio ke pusat Jepang jika ada serangan bomber melewati mereka. Ketika bomber Sekutu tiba di kota-kota Jepang, pertahanan udara Jepang akan siap dan menunggu mereka.

Bulan sebelumnya, Sekutu mendarat di Leyte di Filipina, tanpa menemui perlawanan dari Jepang. Rencana operasi dipercepat 8 minggu. Pada akhir kampanye, ini memberikan Sekutu waktu jeda 2 bulan sebelum rencana invasi ke Okinawa, yang dianggap tidak dapat diterima. Dengan demikian, keputusan itu dibuat untuk menyerang Iwo Jima. Pendaratan ditetapkan Operation Detachment.

Pasukan bertahan sudah bersiap. Pulau ini dipertahankan oleh 22.000 tentara dan diperkuat dengan jaringan bunker bawah tanah. Tujuan dari pertahanan Iwo Jima adalah untuk menimbulkan korban besar pada pasukan Sekutu dan mencegah invasi ke daratan Iwo Jima. Setiap pasukan Jepang diharapkan untuk membunuh 10 tentara Amerika sebelum mati dalam membela tanah air.

Sekutu menginginkan Iwo Jima tidak hanya untuk menetralisir ancaman bagi bomber mereka dan kapal merchant mereka, tetapi untuk dapat menggunakan lapangan udara untuk pesawat tempur kawal (fighter escort) dan pendaratan darurat bomber. Pada tanggal 16 Februari 1945, mereka memulai tiga hari pemboman dari darat dan laut terhadap Iwo Jima.

Pukul 2 pagi pada 19 Februari meriam kapal tempur (battleship) menandai dimulainya D-Day. Dengan segera 100 pembom menyerang pulau, diikuti oleh meriam kapal. Pada pukul 8:30, gelombang pertama dari total 30.000 marinir dari Divisi ke-3, ke-4 dan ke-5 Marinir, di bawah Korps Amfibi V, mendarat di pulau Iwo Jima Jepang dan pertempuran memperebutkan pulau itu dimulai.

Marinir menghadapi tembakan gencar dari Gunung Suribachi di selatan pulau, dan dan menghadapi pasir abu vulkanik kasar yang membuat susah berpijak dan menggali lubang perlindungan. Namun demikian, malam itu gunung Suribachi telah dikepung dan 30.000 marinir mendarat. Sekitar 40.000 lebih akan mendarat selanjutnya.

Perebutan gunung Suribachi yang berjalan lambat, meter demi meter. Tembakan senapan tidak efektif melawan Jepang, tetapi pelontar api dan granat membersihkan bunker. Akhirnya, pada 23 Februari Amerika berhasil mencapai puncak gunung. Fotografer Associated Press Joe Rosenthal mengambil foto terkenal "Raising  Flag in Iwo Jima" yaitu pengibaran bendera Amerika Serikat dipuncak gunung.

Dengan landing zone yang aman, lebih banyak Marinir dan alat berat dikirim ke Iwo Jima dan melanjutkan invasi ke utara untuk menguasai lapangan udara dan sisa pulau. Iwo Jima dinyatakan aman pada 26 Maret. Dengan keberanian mereka, sebagian besar tentara Jepang bertempur sampai mati. Dari lebih dari 20.000 pasukan bertahan, hanya 1.000 yang ditawan.

Pasukan Sekutu menderita 25.000 korban, hampir 7.000 mati. Lebih dari 1/4 dari Medals of Honor (Medali tertinggi pada pasukan Amerika) diberikan dalam Perang Dunia II adalah kepada marinir yang ikut serta dalam invasi Iwo Jima. Pertempuran berakhir pada tanggal 16 Maret 1945 tetapi kantong-kantong kecil perlawanan Jepang masih bertahan.

01.53 | Posted in | Read More »

Battle of Berlin


Dalam Perang Dunia II, Pertempuran Berlin adalah serangan terhadap Berlin oleh pasukan dari Uni Soviet dan Polandia pada bulan April dan Mei 1945. Serangan itu dilakukan oleh tiga Front Soviet, (lebih dari 2 juta tentara) dan 1st Polish Army (78,556 tentara). Persiapan untuk pertempuran sendiri berlangsung selama dua minggu,  di ikuti bombardir oleh ribuan senjata dan peluncur roket.

Pasukan bertahan Jerman adalah 12th Army, ditarik dari bagian front barat oleh Hitler secara khusus untuk mempertahankan kota. Namun anak-anak dan hari tua pensiunan juga ditekan untuk ikut serta dalam pertahanan kota.

Pada saat pasukan Soviet berusaha masuk ke pusat Berlin, pemimpin Jerman Adolf Hitler bunuh diri pada tanggal 30 April 1945. Dia menunjuk Laksamana Karl Dönitz sebagai Führer baru, yang merundingkan penyerahan diri kepada Sekutu pada tanggal 8 Mei 1945.

Sejarah Pertempuran Berlin Januari-Mei 1945
Front Timur telah relatif stabil sejak Agustus 1944. Jerman telah kehilangan Budapest dan sebagian besar Hungaria. Rumania dan Yugoslavia dipaksa untuk menyerah dan mengumumkan perang terhadap Jerman. Dataran Polandia terbuka bagi Tentara Merah Soviet.

Para komandan Soviet, setelah menunggu bagi Jerman untuk mengurangi jumlah tentara Polish Home Army, mengambil alih Warsawa pada Januari 1945. Selama tiga hari, di front yang lebar empat army groups(front) Tentara Merah mulai menyerang melintasi Sungai Oder dan dari Warsawa. Setelah empat hari Tentara Merah mulai bergerak 20-25 mil per hari, menaklukkan Baltik, Danzig, Prusia Timur, Poznan, dan berada tiga puluh enam mil di luar Berlin.

Sebuah serangan balik oleh Army Group Vistula yang baru dibentuk gagal pada Februari 24, dan Rusia melaju di Pomerania dan membersihkan tepi kanan Sungai Oder. Di selatan, tiga upaya untuk melepaskan kepungan terhadap Budapest gagal dan kota ini jatuh pada tanggal 13 Februari. Sekali lagi orang Jerman melakukan serangan balasan, Hitler memaksakan suatu objektif yang tidak mungkin terpenuhi untuk menduduki kembali sungai Danube. Pada tanggal 16 Maret serangan itu gagal dan Tentara Merah melakukan serangan balasan pada hari yang sama. Pada tanggal 30 Maret mereka memasuki Austria dan merebut Wina pada 13 April.

Hanya 1/12 atau kurang dari bahan bakar yang dibutuhkan oleh Wehrmacht yang tersedia. Produksi pesawat tempur dan tank turun, dan kualitasnya itu jauh lebih sedikit dari tahun 1944 . Perang ini jelas akan berakhir, tapi Jerman dapat bertahan selama hampir sebulan. Pertempuran itu akan menjadi sengit, kebanggaan nasional dan keinginan untuk mengulur waktu agar pengungsi untuk sampai ke front barat membuat unit-unit Jerman melawan hingga titik darah terakhir.

1 April 1945, Rusia berada di luar Berlin. Mereka membangun kekuatan selama dua minggu, mengetahui bahwa Berlin akan sangat susah direbut. Sekutu Barat yang direncanakan untuk menerjunkan pasukan payung untuk mengambil Berlin, akhirnya memutuskan untuk membatalkan. Eisenhower melihat tidak perlu menambah korban untuk menguasai sebuah kota yang akan berada dalam lingkup pengaruh Soviet setelah perang usai.

Adolf Hitler, yang tidak pernah berpikir pasukan pertahanan Berlin membela dengan gigih, memutuskan untuk tetap di kota. Pertempuran Berlin akan menjadi pertempuran yang menentukan antara Nazisme dan Komunisme.

Serangan itu dimulai dengan ribuan artileri dan roket yang disebut "Stalin Organ" selama berhari-hari. Pada tanggal 16, 1st Belorussian Fronts, 2nd Belorussian Fronts, dan 1st Ukrainian Front, yang berada di Berlin dari Utara, Barat, dan Selatan, diserang Tentara Merah. April 24 oleh tiga army groups telah berhasil mengepung Berlin.

Hari berikutnya 5th Guard Tank Army bertemu dengan US 1st Army di Torgau, Jerman di Sungai Elbe. Pada tanggal 20 April Hitler memerintahkan 12th Army menghadapi Amerika dan 9th Army untuk masuk ke Berlin dan membuka kepungan. Tak satupun unit yang berhasil melewati tentara Amerika

Nasib Berlin sudah terkepung, tapi perlawanan terus berlanjut. Berjuang itu berat, dari rumah ke rumah dan pertempuran tangan kosong. Soviet menderita 305.000 tentara tewas, sedangkan Jerman sebanyak 325.000 tewas, termasuk warga sipil.

Pada tanggal 30 April Adolf Hitler menikahi Eva Braun, mengambil sianida dan menembak dirinya sendiri. Berlin menyerah pada tanggal 2 Mei. Tentara Soviet menyerbu kota, memperkosa 100.000 perempuan Jerman dari segala usia dan penjarahan terjadi dimana - mana.

Pertempuran Berlin berakhir. Kerajaan Seribu Tahun Jerman berakhir dalam dua belas tahun, dan 40 juta orang meninggal. Penyerahan Jerman ditandatangani pada tanggal 7 Mei di Rheims, Perancis.

Partisipasi Polandia
Dalam pertempuran 1st Polish Army (78 556 tentara) ikut ambil bagian sejak 16 April ketika mereka menyeberang Oder . Tentara Polandia bergerak melalui Hohenzollern Channel dan melanjutkan serangan pada Kremmen, Flatow, Paaren dan Nauen. Tentara Polandia juga mengambil bagian dalam menguasai Brandenburg Gate.

01.25 | Posted in | Read More »

Recently Commented

Recently Added